Mengajar Seperti Finlandia #2: Belajar Sambil Bergerak


Psst. Bisakah saya berbicara sebentar?” Guru mentor saya yang bermata tajam di Arlington, Massachusetts, menarik saya ke pinggir saat istirahat makan siang. Dia sedang tidak tersenyum seperti yang menjadi ciri khasnya. “Tim, tolong jangan tersinggung dengan apa yang akan saya katakan,” ujarnya, “karena setiap kali saya mengintip ke dalam kelas Anda, Anda selalu terlihat sedang duduk bersama dengan murid-murid kelas 1 di atas karpet.” Kritik itu terasa menyengat – bukan karena meleset, tapi karena saya tahu itu benar terjadi.

Kebiasaan saya untuk meminta siswa muda saya untuk duduk dengan pasif selama setengah jam atau lebih di atas karpet jelas tidak efektif. Pada saat saya meminta mereka untuk bangkit dan melakukan kerja mandiri, mereka merasa jengkel, dan saya harus sedikit menarik beberapa anak dari lantai.

Dibantu sebuah stopwatch kuno, saya memaksa diri saya sendiri untuk menyampaikan semua pelajaran saya di bawah 15 menit. Hasilnya sangat membesarkan hati: murid-murid saya melakukan transisi dengan cepat dan bekerja lebih efisien di meja mereka masing-masing ketika saya membuat pelajaran berlangsung dalam waktu yang pendek. Kemudian saya menengarai ada masalah lain yang sangat jelas: hampir 100 persen murid selalu duduk di kelas apa pun. Secara intuitif saya tahu ini sedikit problematik, dan kelak, saya akan menemukan penyebabnya.

Meskipun saya mencoba berhenti memikirkannya, setiap kali saya mengunjungi sekolah-sekolah di negara bagian lain, saya akan melihat fenomena yang sama. Siswa-siswi Amerika diminta untuk duduk tenang selama pelajaran. Tidak hanya itu, mereka menjadi tidak aktif sepanjang hari. Dan ini hanya berarti satu hal, yaitu bahwa jutaan anak kehilangan manfaat yang kaya dari gerak aktif secara fisik. Penelitian telah menunjukkan bahwa kegiatan fisik dapat menangkal obesitas, mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, memperbaiki fungsi kognitif (seperti ingatan dan perhatian), dan secara positif memengaruhi kesehatan mental (Walker, 2015).

Saya sedikit berasumsi bahwa kurangnya kegiatan fisik di sekolah menjadi satu masalah alami Amerika akibat lamanya hari sekolah dan terbatasnya kesempatan untuk istirahat. Namun ketika saya mulai mengajar di Finlandia, saya melihat hal yang sama terjadi di sekolah negeri di Helsinki. Pertama, ini tidak masuk akal. Anak-anak di Finlandia memiliki hari sekolah yang pendek dan istirahat 15 menit yang sering. Dan meskipun istirahat membuat mereka lebih fokus di kelas, mereka tidak lantas menjadi lebih aktif di sekolah.

Di tempat bermain, cerah atau salju, saya menemukan banyak anak Finlandia menghabiskan waktu istirahat secara pasif. Beberapa anak mengutak-atik telepon pintar mereka, terpaku pada permainan ponsel terbaru, sementara lainnya menggerombol, duduk-duduk di bangku, atau berdiri dalam kelompok kecil dan mengobrol. Biasanya, saya bisa menemukan sekumpulan siswa bermain kartu atau sepak bola. Tetapi, jumlah anak yang pasif biasanya lebih banyak daripada jumlah anak yang aktif. Di lorong-lorong sekolah saya, siswa yang lebih senior sering bersender pada tembok atau bahkan tiduran, menunggu dimulainya pelajaran berikutnya.

Peneliti-peneliti Finlandia membenarkan observasi saya. Dalam “Rapor Finlandia 2014 mengenai Kegiatan Fisik untuk Anak-anak dan Kaum Muda,” anak-anak di Finlandia mendapat nilai D untuk semua tingkat kegiatan fisik. Di tahun 2013, satu studi mengungkapkan bahwa hanya separuh siswa sekolah dasar Finlandia yang mampu memenuhi standar nasional, yaitu setidaknya terlibat dalam satu jam kegiatan fisik “sedang hingga berat” setiap hari. Di antara siswa sekolah menengah, angkanya bahkkan lebih buruk: 17 persen (Walker, 2015).

Finlandia bukanlah satu-satunya negara dengan rapor buruk dalam hal kegiatan fisik. Dalam “Rapor Amerika Serikat 2014 mengenai Kegiatan Fisik untuk Anak-anak dan Kaum Muda,” Amerika mendapat nilai D untuk keseluruhan tingkat kegiatan fisik. Kasarnya, hanya seperempat anak Amerika berusia 6-15 tahun yang aktif per jam per hari sedikitnya dalam 5 hari seminggu, menurut rapor (Walker, 2015).

Meskipun anak-anak di kedua negara punya nilai keaktifan yang rendah, ada perbedaan kunci antara Finlandia dan Amerika Serikat: ratusan sekolah di seluruh penjuru negara Nordic yang kecil ini sekarang ini berusaha keras untuk membuat anak-anak aktif dalam satu hari melalui sebuah inisiatif pemerintah yang relatif baru yang disebut Finnish Schools on the Move (Sekolah Finlandia Bergerak). Eksperimen ini dapat menjadi contoh dari apa yang dilakukan Amerika untuk membuat anak-anak lebih aktif.

Antara 2010 dan 2012, 45 sekolah Finlandia menguji coba program ini. Dan hasilnya sesuai harapan, sekolah-sekolah tersebut dapat meningkatkan kegiatan fisik anak-anak selama mereka mau berusaha. Menurut sebuah survei yang dilakukan setelah program percobaan itu, separuh siswa sekolah dasar dan sepertiga siswa sekolah menengah melaporkan adanya kegiatan fisik yang meningkat (Walker, 2015).

Sebuah hasil yang menggemparkan dunia? Tidak. “Perlu beberapa waktu sehingga tindakan terwujud dan membuahkan hasil, pengembangan sistematis diperlukan untuk mengingkatkan kegiatan fisik anak-anak selama hari sekolah,” demikian bunyi rangkuman program uji coba tersebut. Namun dengan tetap rendah hati seperti sebelumnya, Finnish Schools on the Move melangkah dalam arah yang benar (Walker, 2015).

Tuija Tammelin, direktur penelitian dari LIKES, yayasan yang melaksanakan studi tentang program uji coba tersebut, mengatakan kepada saya bahwa dia terkesan dengan adopsi yang cepat dari Finnish Schools on the Move. Hanya dalam beberapa tahun, jumlah sekolah komprehensif berkembang dari 45 hingga hampir 800. Di musim gugur 2014, sekolah saya menerapkan inisiatif ini, dan saya mampu melihat Finnish Schools on the Move secara nyata.

###

Pada sore hari di pertengahan Desember, saya sedang berjalan-jalan di luar pada salah satu istirahat 15 menit. (Ini terjadi di tahun kedua saya mengajar di Helsinki, ketika saya berkeliling dengan siswa Helsinki yang akan saya ajar, kelas 6.) Karena sekolah baru saja meluncurkan program Finnish Schools on the Move, saya bertanya-tanya apakah ada yang berubah dari tingkah laku para siswa saya. Akankah saya melihat lebih sedikit anak yang bermalas-malasan di playground?

Dua murid kelas 6 saya, berompi kuning neon, Emmi dan Marianne, sedang memainkan permainan populer Banana Tag. Di sekitar mereka, puluhan anak yang lebih muda berlarian kesana-kemari.

Emmi dan Marianne adalah “recess activators” (“penggiat istirahat”), yang berarti mereka terlatih untuk terlibat dengan teman-teman yang lebih muda, terutama anak-anak kelas 1 dan 2, sekali seminggu. Beberapa menit sebelum saya datang, 2 anak perempuan ini membungkuk di sekitar anak-anak berusia 7 dan 8 tahun dan memutuskan untuk memainkan suatu game.

Saya berjalan menghampiri Emmi di tengah-tengah permainannya, dan saat adik-adik kecil mereka berlari riang zig-zag menghindari kami, saya bertanya kepadanya apakah mereka bergerak lebih aktif selama jam istirahat sejak dia memimpin permainan. Dia memberikan salah satu pandangan yang selalu diberikan anak-anak kepada orang dewasa ketika kita memberi pertanyaan dengan suatu jawaban yang sudah jelas. Dengna alis mata yang naik, dia mengangguk dengan keras – sebuah pertanda kalau saya harus segera menyingkir dari hadapan mereka.

Pada akhirnya menjadi jelas bahwa apa yang telah saya amati dari Emmi dan Marianne pada hari itu adalah sebuah rutinitas harian. Setiap siang, beberapa penggiat istirahat melibatkan diri dalam kegiatan serupa, menyebar di atas aspal tempat bermain dan mengajak anak-anak yang lebih muda untuk ikut dalam permainan aktif seperti Banana Tag.

Saya mengunjungi sekolah Finlandia lain di kota Salo, 1,5 jam perjalanan dari Helsinki. Di sana, saya menemukan murid-murid kelas 6 membantu dengan cara yang berbeda. Pelajaran di kelas baru saja selesai, dan saya melihat puluhan siswa sekolah dasar berkerumun ke serambi di mana mantel musim dingin dan sepatu outdoor mereka tersimpan. Alih-alih berhamburan keluar, seperti yang biasa terjadi sebelumnya, beberapa anak tetap tinggal dan berbaris rapi di depan sebuah meja dekat pintu depan. Setiap anak memegangi selembar kertas sebesar kartu nama. Kertas-kertas ini, saya ketahui kemudian, merupakan “paspor” yang memberi mereka hak untuk meminjam alat permainan selama jam istirahat.

Beberapa saat kemudian, 2 murid yang lebih tua bergegas ke belakang meja. Dengan sebuah kunci yang diambil dari tempat istirahat guru, mereka membuka lemari di bawah meja dan memanggil anak urutan pertama – bocah laki-laki berambut pirang yang mungil.

“Apa yang kamu inginkan?” tanya salah satu anak yang lebih tua setelah mengambil paspor bocah itu. Anak kecil itu meminta bola basket dan, begitu bola itu diperlihatkan, ia menyambarnya dengan gembira dan buru-buru berlari ke luar. Berikutnya, seorang anak berambut coklat berwajah bulat melangkah ke depan dan meminta sebuah alat lompat tali. Dan demikian seterusnya hingga antrean panjang anak-anak yang antusias tersebut menghilang.

Didorong rasa ingin tahu apakah program ini telah sukses seperti yang terjadi di tempat saya mengajar di Helsinki, saya melangkah ke arah meja dan bertanya kepada murid-murid yang berjaga di situ apakah mereka juga menyaksikan adanya perubahan dalam kegiatan fisik selama jam istirahat. Jawaban mereka, tidak mengejutkan, juga iya.

Namun itu tidak cukup meyakinkan saya bahwa program ini menghasilkan dampak di semua tempat. Meskipun saya melihat anak-anak kecil banyak yang berlarian selama istirahat, saya masih bertanya tentang pengaruh Finnish Schools on the Move pada siswa yang lebih tua. Di luar semuanya itu, program uji coba mengungkapkan bahwa perilaku “duduk-duduk” di sekolah meningkat secara ajeg sesuai umur. Survei selanjutnya, lebih lagi, melaporkan bahwa hanya sepertiga siswa di kelas 7-9 yang level kegiatan fisiknya meningkat setiap hari meskipun mengikuti program uji coba ini (Walker, 2015).

Jadi, saya menemui salah satu guru olah raga di sekolah Helsinki yang mengoordinasi program tersebut. Meskipun dia senang dengan kinerja penggiat istirahat seperti Emmi dan Marianne, dia mengakui bahwa ada sesuatu yang harus diakukan terhadap anak-anak yang lebih tua. Dan tampaknya, dia sudah memiliki sebuah rencana.

Sekolah Helsinki saya akan mengubah jadwal harian sedemikian rupa sehingga dapat membuat para murid memiliki waktu tambahan untuk terlibat dalam kegiatan fisik yang menarik minat mereka. Alih-alih hanya memberikan waktu istirahat 15 menit yang pendek, pihak sekolah akan memberikan paling sedikit 1 kali istirahat berdurasi 30 menit per hari. Perubahan ini secara khusus akan memberi manfaat bagi para siswa di kelas 7-9, yang memiliki permainan yang lebih dewasa daripada tag dan memerlukan sesuatu yang secara perkembangan lebih tepat untuk membuat jantung mereka berdetak lebih cepat.

Dengan model ini, siswa yang lebih tua akan memiliki kesempatan untuk membuat hiburan mereka sendiri yang dapat menjaga diri mereka tetap aktif sepanjang hari: yogalates, hoki lantai, atau senam, adalah contoh dari beberapa kemungkinan. Anak-anak dapat merancang apa saja; asalkan itu membuat mereka bersemangat, maka akan dipertimbangkan. Anak-anak menjalankan dan mengarahkan sendiri kegiatan-kegiatan yang dipilihnya – dan itu dari mereka sendiri. Sekolah Finlandia mendorong anak-anak untuk mempunyai rasa memiliki dengan cara meminta ide dan menyediakan waktu dan ruang mereka agar kegiatan-kegiatan tersebut terwujud di sekolah.

Namun model ini tidak hanya menggarisbawahi nilai pemberdayaan siswa. Ini juga mendemonstrasikan bahwa meningkatnya kegiatan fisik tidak serta merta hanya demi mengisi jam istirahat atau kelas olahraga.

Faktanya, saya baru menyadari bahwa jam pelajaran di kelas juga dapat melibatkan kegiatan fisik. Ketika sekolah saya memperkenalkan Finnish Schools on the Move, para koordinator memberikan beberapa strategi untuk membuat para murid aktif selama pelajaran, sebagai contoh, dengan menawarkan “energizers” (“pembangkit energi”) yaitu istirahat pendek agar siswa tidak terus duduk selama pelajaran, para murid dapat menyelesaikan tugas sambil berdiri, dan mengganti kursi konvensional dengan bola senam sehingga murid-murid dapat bergerak-gerak dan belajar dalam waktu yang bersamaan.

Sejak musim gugur itu, saya mulai mencari lebih banyak cara untuk membuat siswa saya aktif selama pelajaran berlangsung. Salah satu strategi yang saya uji cobakan adalah mengadaptasi sesuatu yang pertama kali saya amati di Amerika Serikat: saya menyebutnya galeri berjalan yang aktif, yang tetap membuat anak-anak bergerak untuk memastikan mereka tetap fokus selama di kelas.

Taktik ini muncul dari rasa frustasi saya terhadap cara penyelenggaraan sekolah yang sangat tradisional. Terlalu sering, para siswa menyampaikan kerja mereka secara pasif; mereka berdiri di depan kelas dengan poster atau presentasi slideshow dan berceramah kepada teman-temannya tentang apa yang telah mereka pelajari, contohnya. Praktik umum ini tidak hanya menghabiskan jam pelajaran, tetapi juga (relatif) kurang produktif. Duduk dan mendengar sejumlah presentasi secara berurutan bisa menjadi membosankan bagi setiap orang yang ada di kelas – termasuk guru – tidak peduli setrampil apa pun siswa tersebut menyampaikan pekerjaan mereka.

Memberi para siswa kesempatan untuk tampil dan menyampaikan apa yang mereka pelajari, tentu saja, penting, namun menurut saya melakukan sesuatu yang tidak melibatkan siswa dan yang sifatnya tidak aktif kurang bermanfaat, karena itu saya mengusulkan galeri berjalan yang aktif. Seperti ini pelaksanaannya: para siswa menempelkan presentasi mereka di dinding kelas atau lorong seakan-akan sedang memamerkan karya mereka di sebuah galeri seni. Setiap karya diberi nomor, dan anak-anak berkeliling dari karya satu ke karya lainnya secara sistematis, mereka diberi waktu 1-2 menit untuk mempelajari dengan cermat setiap karya yang ada di hadapan mereka. Untuk membuat pengalaman ini lebih bermakna, para siswa saling memberikan masukan tertulis selagi menikmati karya dalam pameran. Sebelum mereka memulai galeri berjalan ini, saya membagikan sticky notes dalam 2 warna berbeda: 1 warna digunakan siswa untuk menulis pertanyaan tentang karya penyaji untuk menjadi pertimbangan, dan kertas lainnya untuk menuliskan obsevasi positif.

Dan meskipun mereka kelihatan gembira menyusuri galeri berjalan ini, saat mereka berhenti sejenak untuk melihat setiap presentasi dan mencorat-coret sticky notes, bagian terbaiknya justru terjadi setelah kegiatan ini berakhir. Mereka berlarian untuk mengambil presentasi mereka dan kembali ke meja masing-masing, di mana kemudian menyimak masukan dari teman sekelas mereka. Secara alami, saya memberikan mereka waktu untuk memperbaiki pekerjaan mereka. Dan yang menggembirakan saya, para murid selalu memperbaiki presentasi mereka tanpa harus saya desak.

###

Saya sudah separuh jalan di kegiatan galeri berjalan bersama murid kelas 6 Helsinki, saya memeriksa jam saya dan takjub begitu cepat waktu berlalu. Dua puluh satu menit telah berjalan, tetapi saya merasa kami baru saja mulai. Emmi menoleh ketika dia mendengar saya berseru “wow!” dan bertanya apa alasannya. Saya menunjukkan jam saya, dan seperti saya, dia tidak percaya menit demi menit yang telah berlalu. Kami sepakat bahwa pembelajaran harus terasa seperti ini setiap waktu.

Jukka, murid saya lainnya, mendatangi saya setelah galeri berjalan usai, memberi saya high five, dan berterima kasih untuk pelajaran tersebut. Tetapi dari ekspresi terima kasihnya – seakan-akan saya baru saja memberi Jukka dan teman sekelasnya suatu hadiah yang tidak terduga – tidak disangka. Semua anak berhak mendapatkan pelajaran yang aktif dan dapat melibatkan mereka seperti yang dialami Jukka dan Emmi.

Finnish Schools on the Move telah meyakinkan saya bahwa sekolah-sekolah di Amerika – dan di seluruh dunia – dapat meningkatkan kegiatan fisik anak-anak dengan melibatkan semua murid dalam gaya belajar yang aktif dan memotivasi kita, para guru, untuk mencari cara yang kreatif untuk membuat anak-anak bergerak dalam kelas mereka.

Kegiatan seperti galeri berjalan dapat diaplikasikan di semua tingkat. Berikut ini adalah ide-ide lain untuk melakukan apa yang ingin dicapai oleh para inisiator Finlandia – meningkatkan kegiatan fisik dan mengurangi lamanya siswa duduk di dalam kelas. Saran di bawah ini sebagian diambil dari situs web Finnish Schools on the Move (Likkukuva Koulu, n.d.):

  • Cari cara untuk memasukkan kegiatan yang mengandung unsur berdiri, atau gerakan, yang terlihat alami ke dalam pelajaran. Jika Anda adalah seorang guru sekolah dasar, minta anak-anak untuk berdiri dan mempraktikkan sebagaian dari teks yang sedang Anda baca. Di tahun kedua mengajar di Helsinki, saya mengajar kelas kedua dan dalam kegiatan membaca dengan keras Charlie and the Chocolate Factory, kami menari di dalam kelas selama saya membacakan nyanyian “Oompa Loompa” yang panjang, sebagai contoh. (Anak-anak menyukainya, dan ini memberikan setiap orang peluang untuk berdiri dan bergerak.) Untuk siswa yang lebih tua, bagaimana dengan mengadakan diskusi kelas sambil berdiri? Agar ruang kelas semakin luas, Anda, dibantu para siswa, dapat menggeser meja dan kursi dari tengah ke tepi kelas saat Anda masuk ke dalam topik pelajaran hari itu.
  • Kadangkala, Anda melihat wajah murid-murid mulai mengantuk setelah duduk dalam waktu yang lama, meskipun Anda telah melakukan segala upaya terbaik untuk membuat pelajaran Anda menarik perhatian mereka. Dalam kesempatan ini, mengapa tidak masuk ke dalam suatu karakter (dengan gaya komandan angkatan darat terbaik Anda) dan menginstruksikan latihan fisik ala militer secara mendadak? Dua puluh jumping jack atau 20 detik lari di tepat dapat menghidupkan pelajaran, sementara siswa Anda mendapatkan jeda untuk bangkit dari tempat duduk.
  • Jika Anda adalah guru sekolah dasar, Anda dapat menunjuk “penggiat istirahat” di kelas Anda yang mampu melakukan tugasnya di tempat bermain secara bergiliran, seperti murid Helsinki saya Emmi dan Marianne. Saya tidak akan memaksa anak-anak untuk berpartisipasi dalam permainan ini, namun seperti yang saya amati di Finlandia, dengan memberikan siswa kesempatan rutin untuk melakukan permainan yang menyenangkan, permainan aktif seperti Banana Tag memotivasi mereka untuk menjadi lebih aktif secara fisik di tempat bermain. Jika Anda mempertimbangkan ide ini untuk menunjuk seorang penggiat istirahat, saya menyarankan agar Anda menyediakan pelatihan kecil untuk murid-murid tersebut dan mengajar mereka dengan mengajak mereka membuat daftar singkat permainan yang akan mereka pimpin dan mengajar mereka bagaimana mendukung peserta lain dalam permainan tersebut. Awalnya, penting untuk mengawasi upaya mereka dalam menjadi fasilitator, hingga mereka tampak nyaman dengan peran mereka. 
  • Ketika saya sedang mengajar murid kelas 1 dan 2 di daerah Boston, ada seorang murid – anak laki-laki berpostur kecil yang mudah gelisah – yang punya kesulitan untuk duduk dengan baik. Sepertinya setiap kali dia diminta untuk menyelesaikan tugas mandiri, dia ingin berdiri. Pada akhirnya, saya lelah memintanya untuk duduk, dan menurut pendapat saya, kualitas pekerjaannya tidak buruk. Meskipun penting bagi para murid, terutama anak-anak kecil, untuk mempelajari teknik menulis dan melatih postur tubuh yang baik, saya pikir penting juga untuk memberikan murid-murid kita kebebasan untuk bergerak, bergoyang-goyang, dan berdiri. Beberapa guru, saya dengar, telah membawa “meja berdiri” ke dalam kelas mereka, dan ini tampaknya menjadi solusi yang bagus. Selain itu, langkah yang lebih murah dapat ditempuh, yaitu dengan meminta siswa membaca buku sambil berdiri, atau menyediakan alat tulis bagi anak-anak untuk menyelesaikan tugas sambil berdiri di sekitar kelas.
Sumber Buku Terjemah:
Walker, Timothy D. 2018. Mengajar Seperti Finlandia. Jakarta: Gramedia.
Dikutip dari bab 1, subbab belajar sambil bergerak, halaman 13-24.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Mengajar Seperti Finlandia #2: Belajar Sambil Bergerak"

Post a Comment